Tuesday 30 October 2018

The Great Pretender

There is an invisible chain that hold you and I. 
Tight us so strong so that you and I will never be 
That made us the great pretender 

Friday 12 October 2018

Summer Afternoon

It was sunny day in the end of an endless summer
When you realize that look, that hand, that eyes is your oxygen
You..

Sitting right on the front seat, the afternoon sun making your silhouette so clear and calm
That moment that I cherished every time, the moment when we both awake and realize that it is all that we have.

That hand, that hand band, that black G shock of yours, the unbutton blue black checkers shirt (you look good in that), your sight searching mine.
That afternoon, that golden sun, and that eyes.

Let the ray of the sun whispering my secret to you, everybody else is none to us.

In that summer afternoon


Wednesday 3 October 2018

Closure

Hari itu kami tengah bersiap-siap mandi, ketika telpon itu berbunyi dan mengabarkan jika papa sedang kritis. Kami segera pulang ke Bandung, saat itu juga, tanpa persiapan tanpa rencana. 
Cuaca sangat panas hari itu, suhu di dashboard mobil mencapai 35 derajat, dan jalanan entah kenapa kosong. Mungkin Tuhan mengerti hati kami yg tengah kalut. Sepanjang perjalanan suami hanya diam, dan sesekali terlihat matanya berkaca-kaca. "Aku belum siap ditinggal bun" begitu katanya ketika telpon itu ditutup.

Rumah sakit sangat lengang, kami naik ke lantai 3 dan disambut riuh rendah para penunggu ruangan ICU. Kakak memelukku dengan kencang sambil menangis, terdengar olehku kata-katanya yg masih ingin punya papa. Ibu mertua ku hanya terdiam, menangis tanpa suara. Ku usap bahu ibu, sambil menatap kosong ke arah lift.

Pukul 5 sore, kami dipanggil kedalam ruangan HCU. Papa terbaring dan gelisah, nafasnya terengah engah. Tangannya terikat, masker oksigen itu berulang kali dilepasnya. Bergantian kami mendoakan beliau, memanggilnya dengan panggilan sayang kami, mengingatkan dirinya utk tetap semangat karna kami merindukan dirinya. Papa tak bergeming, matanya membesar dan mengecil tak tentu, menatap ke atas seolah olah menatap seseorang. 

Genduk ku ajak masuk, dengan meminta pengertian dan keringanan dari perawat waktu itu. Ku bimbing tangan mungilnya menemui eyang nya. Ia tercenung dan menangis menatap wajah tua kesayangannya itu. Dipeluknya diriku erat, dan kemudian diletakkannya sepucuk surat di atas bantal Papa. Dibisikkannya sepotong doa untuk kekuatan dan ketenangan, kemudian ditutupnya dengan kecupan di dahi papa.

Kemudian kami keluar dan menunggu. Menunggu hingga saat itu tiba, pukul 19.30. Suamiku berteriak menyuruhku masuk kembali ke ruang HCU, jantung papa berhenti katanya. Dan kemudian yg kuingat hanyalah suara tim dokter yg tengah memompa jantung papa bergantian dengan suara kakak yg tengah berdoa sambil menangis. Suaranya kencang seolah olah hendak mengetuk pintu langit. "Bukalah pintu langit Mu untuk ayahku" hanya itu yg kuingat. Dan kemudian lilin itu menyala kembali, jantung papa berdenyut kembali. 

Tapi lilin itu tak lama, ia redup kembali dan kemudian padam.

Innalillahi wa inna'ilahi rajiun, selamat jalan Papa. Semoga segala kebaikan mu menjadi penerang jalanmu disana. Tunggu kami di surga ya Pa.